Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Usaha_Kecil_dan_Menengah
PENGERTIAN UKM
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.”
Kriteria usaha kecil menurut UU No. 9 tahun 1995 adalah sebagai berikut: 1. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha 2. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Miliar Rupiah) 3. Milik Warga Negara Indonesia 4. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau Usaha Besar 5. Berbentuk usaha orang perorangan , badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum, termasuk koperasi.
Di Indonesia, jumlah UKM hingga 2005 mencapai 42,4 juta unit lebih.
Pemerintah Indonesia, membina UKM melalui Dinas Koperasi dan UKM, di masing-masing Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Sumber: http://www.damandiri.or.id/file/arirahmathakimundipbab1.pdf
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Usaha kecil merupakan bagian integral dari dunia usaha
nasional yang mempunyai kedudukan, potensi dan peranan yang
sangat strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional.
Mengingat peranannya dalam pembangunan, usaha kecil harus terus
dikembangkan dengan semangat kekeluargaan, saling isi mengisi,
saling memperkuat antara usaha yang kecil dan besar dalam rangka
pemerataan serta mewujudkan kemakmuran yang sebesar-besarnya
bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut,
pemerintah dan masyarakat harus saling bekerjasama. Masyarakat
sebagai pelaku utama pembangunan, sedangkan pemerintah
berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, melindungi serta
menumbuhkan iklim usaha. Dengan demikian, kemampuan usaha
kecil termasuk usahatani dari waktu ke waktu perlu diperhatikan,
karena sebagian besar penduduk Indonesia hidup dan
menggantungkan diri dari sektor ini.
Usaha tani sebagai salah satu sektor kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh sebagian besar penduduk Indonesia harus didukung
dan didorong kemampuannya agar tetap eksis, sehingga dapat
memperluas kesempatan usaha dan memperluas lapangan pekerjaan
bagi angkatan kerja yang terus bertambah jumlahnya serta untuk
meningkatkan penghasilan petani dan masyarakat secara lebih merata.
Adapun usahatani bisa dilakukan oleh perorangan atau melalui
pembentukan kelompok-kelompok tani baik dalam skala kecil
maupun dalam bentuk usaha dalam skala besar, meliputi usaha dalam
bidang budidaya tanaman, usaha perkebunan, usaha perikanan serta
usaha dalam bidang peternakan. Usahatani ini selain banyak
dilakukan di Pulau Jawa juga banyak kegiatan ini dilakukan di daerahdaerah
seperti di Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. Pulau Lombok
yang terkenal dengan kebudayaan sasak dan sebutan salah satu
lumbung padi di Indonesia, yaitu julukan yang pernah diberikan
dahulu karena tanah pertaniannya yang subur. Ada beberapa jenis
usahatani yang mempunyai keunggulan khususnya dari segi produksi
antara lain yaitu cabe, bawang putih, rumput laut, tambak udang,
perternakan ayam, dan yang juga khas adalah tembakau virginia yang
merupakan produk subsektor perkebunan. Kegiatan usahatani
tersebut di lakukan dengan latar belakang dan didasarkan pada
kemampuan yang tidak sama.
Khusus di bidang subsektor perkebunan, dimana sebagian
besar petani menanam tembakau karena tanaman ini dianggap dapat
memberikan nilai tambah yang lebih bila dibandingkan dengan tanaman lain, ini terlihat dengan sebagian besar areal pertanian di
Pulau Lombok ditanami tembakau dan juga banyaknya oven yang
dibangun oleh masyarakat. Namun masalah yang sangat pokok yang
dialami oleh petani tembakau di Pulau Lombok pada umumnya
adalah masalah permodalan, baik pada saat penanaman maupun
sesudah penanaman, selain itu masalah fluktuasi harga, sarana
produksi (bibit/pupuk/obat-obatan), harga jual hasil produksi,
persaingan antar petani tembakau besar dan kecil, disamping
minimnya teknologi dan kesulitan akan akses pasar yang lebih luas
dalam menyalurkan hasil panen tembakaunya. Masalah-masalah
tersebut selalu timbul dan menempatkan petani tembakau pada
kedudukan yang sulit. Untuk mengatasi masalah permodalan serta
permasalahan-permasalahan yang lainnya, sebagian besar petani
tembakau di Pulau Lombok melakukan kerja sama dengan industri
rokok/perusahaan pengelola hasil tembakau yang ada di Pulau
Lombok, baik dalam bentuk perusahaan penanaman modal asing
maupun penanaman modal dalam negeri. Melalui kemitraan usaha
tersebut diharapkan dapat secara cepat bersimbiose mutualistik
sehingga kekurangan dan keterbatasan yang dialami oleh petani
tembakau dapat teratasi.
Adapun perusahaan-perusahaan rokok yang ada di Pulau
Lombok antara lain adalah PT. BAT, PT. Djarum, PT. Tresno Bentoel Malang, PT. H. M. Sampoerna, PT. Sadhana Arief Nusa, CV. Tresno
Adi, PT. Gelora Djaja dan UD. Nyoto Permadi. Perusahaan ini
bergerak dalam bidang penerimaan/penyaluran hasil tembakau para
petani, dan turut berperan dalam meningkatkan produktivitas hasil
tembakau. Perusahaan-perusahaan ini banyak membina petani
tembakau yang ada di Pulau Lombok. Berbagai upaya dilakukan oleh
perusahaan ini untuk lebih meningkatkan hasil-hasil tembakau baik
secara kualitas maupun kuantitas, diantaranya melalui penyuluhan
tentang cara pembibitan, pemeliharaan, pemungutan hasil panen,
pengolahan termasuk di dalamnya pengeringan dan pengepakan serta
tidak kalah pentingya dalam hal pemberian modal kepada petani.
Selanjutnya dengan memperhatikan berbagai latar belakang
dan keterbatasan yang dimiliki oleh petani dalam melakukan
usahanya di atas, maka hendaknya terus dikembangkan hubungan
kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan
menguntungkan baik dengan koperasi, swasta dan Badan Usaha Milik
Negara, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka
memperkuat struktur ekonomi nasional.
Senada dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono,
dalam rangka meningkatkan kemampuan usaha yang berskala kecil
harus dibarengi dengan kebijakan berupa beberapa upaya secara
sistematis antara lain yaitu :
1. Menyediakan perangkat peraturan yang sifatnya :
Ø Mendorong terjadinya kerjasama/kemitraan.
Ø Menciptakan bentuk kerjasama/kemitraan.
Ø Memberi kemudahan dalam rangka terciptanya
kerjasama/kemitraan.
2. Membentuk wadah-wadah kerjasama/kemitraan secara formal
antara departemen, jawatan dan instansi yang bersifat teknis
dengan pengusaha-pengusaha swasta (menengah dan kecil).
{*sumber:1 Sri Redjeki Hartono, 13 September 1997, Menuju pada kemitraan yang harmonis dan
berdayaguna, Makalah pada Lokakarya Kemitraan Usaha yang Berkesinambungan, FH-Undip,
Semarang, hal. 3}
Kebijakan seperti tersebut di atas, merupakan wujud dari
kehendak untuk melakukan keberpihakan kebijakan hukum ekonomi
kepada usaha kecil dan menengah, tetapi tentu saja tanpa
mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara.
Seperti kita ketahui bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia secara
simultan dilakukan oleh Badan-Badan Usaha Milik Negara, Badan-
Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang merupakan pendukung
bangun ekonomi Indonesia.
Adapun pengaturan mengenai kemitraan sampai saat ini masih
menggunakan dasar atau pijakan hukum produk Orde Baru yaitu
Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan. Realitas
legal ini menyebabkan pembahasan dalam tesis ini secara yuridis
normatif tetap mengacu kepada kedua ketentuan hukum tersebut.
Selanjutnya pengertian dari kemitraan dalam Pasal 1 point 8
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 diartikan sebagai :
“Kerjasama usaha antara Usaha Kecil dengan Menengah atau
Usaha Besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh Usaha
Menengah atau Usaha Besar dengan memperhatikan prinsip
saling memerlukan, saling memperkuat dan saling
menguntungkan”.
Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas,
mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha
menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil
mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu
menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan
kesejahteraan bersama.
Dalam pedoman pola hubungan kemitraan, mitra dapat
bertindak sebagai Perusahaan inti atau Perusahaan Pembina atau
Perusahaan Pengelola atau Perusahaan Penghela, sedangkan Plasma di
sini adalah Petani Tembakau. Pola inti plasma dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, adalah sebagai berikut :
Inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara usaha
kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di
dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak
sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan inti
melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana
produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil
produksi.
Di dalam pelaksanaan kemitraan pola inti plasma, perlu lebih
cermat diperhatikan pola hubungan kelembagaan antar mitra sebab
secara umum memang harus disadari bahwa dalam kemitraan
bertemu dua kepentingan yang sama tetapi dilatarbelakangi oleh
kemampuan manajemen, kekurangpahaman dalam pengetahuan
hukum, serta permodalan memang sangat rentan untuk menjadi
korban dari perusahaan inti yang jelas-jelas mempunyai latar belakang
yang lebih kuat.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka tidak tertutup
kemungkinan terjadinya pembelokan arah program tersebut bagi
keuntungan industri besar itu sendiri. Bukannya tidak mungkin terjadi
dalam praktek, bahwa tujuan semula dari program kemitraan adalah
untuk membangun hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan antara inti yang menjadi induk, dengan plasma yang
menjadi mitra usahanya. Dalam kenyataannya justru plasma sering
menjadi sasaran empuk pemerasan oleh perusahaan induknya. Seperti
halnya yang dialami oleh petani tembakau di Pulau Lombok Nusa
Tenggara Barat, tindakan-tindakan yang sering dilakukan oleh
perusahaan rokok sebagai inti adalah antara lain dengan menentukan
sendiri mutu (grade) tembakau, mematok harga secara sepihak serta
seenaknya mempermainkan harga tembakau petani yang sudah siap
jual.
Dengan memperhatikan situasi serta kondisi demikian, maka
sangat dirasakan perlu untuk suatu analisis secara umum yaitu apakah
pola hubungan hukum kemitraan usahatani tembakau dapat
memberikan perlindungan hukum bagi petani tembakau selaku
plasma, bagaimana kedudukan dan hubungan hukum antara petani
tembakau dengan industri rokok, dan permasalahan-permasalahan
apakah yang sering muncul dalam pola hubungan hukum kemitraan
usahatani tembakau selaku plasma di Pulau Lombok dan bagaimana
upaya penyelesiannya.. Khusus dari segi perlindungan tidak hanya
menyangkut satu aspek saja, tetapi tentunya harus merupakan
kebijakan yang bersifat menyeluruh meliputi segala aspek
perlindungan, dan supaya melibatkan beberapa pihak terkait baik dari
pihak perusahaan inti maupun campur tangan pemerintah.
B. Perumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dalam
penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut yaitu :
1. Apakah pola hubungan hukum kemitraan usahatani tembakau
dapat memberikan perlindungan hukum bagi Petani Tembakau di
Pulau Lombok ?
2. Bagaimanakah kedudukan dan hubungan hukum petani tembakau
dengan perusahaan pengelola dalam perjanjian kemitraan ?
3. Upaya-upaya apakah yang ditempuh dalam melindungi petani
tembakau di pulau Lombok ?
C. Kerangka Pemikiran
Di Indonesia pengertian mengenai usaha kecil masih sangat
beragam. Menurut Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 yang dimaksud
usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil, dan
memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta
kepemilikan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, pasal 1
butir 1 yaitu :
a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp. 200.000.000,-
(dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah, dan bangunan
tempat usaha; atau
b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah);
c. Milik warga negara Indonesia;
d. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau
cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau berafiliasi
baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha
menengah atau usaha besar;
e. Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang tidak
berbadan hukum, atau badan usaha yang berbadan hukum
termasuk koperasi (pasal 5).
Selanjutnya Bank Indonesia dan Departemen Perindustrian
mendefinisikan mengenai usaha kecil berdasarkan nilai assetnya.
Menurut kedua lembaga tersebut, yang dimaksud dengan usaha kecil
adalah usaha yang mana assetnya tidak termasuk tanah dan bangunan
bernilai kurang dari Rp. 600 juta. Adapun Kadin terlebih dahulu
membedakan usaha kecil menjadi dua kelompok besar. Kelompok
pertama, adalah yang bergerak dalam bidang perdagangan, pertanian,
dan industri. Kelompok yang kedua, adalah yang bergerak dalam
bidang konstruksi. Menurut Kadin, yang dimaksud dengan usaha
kecil adalah usaha yang memiliki modal kerja kurang dari Rp. 150 juta
dan memiliki nilai usaha kurang dari Rp. 600 juta.
Sehubungan dengan adanya keragaman dalam batasan
tersebut, tampaknya perlu untuk diketahui tentang ciri-ciri umum dari
usaha kecil. Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Mitzerg dan
Musselman serta Hughes dapat disimpulkan ciri-ciri umum usaha
kecil, yaitu :
1. Kegiatannya cenderung tidak formal dan jarang yang memiliki
rencana usaha;
2. Struktur organisasi bersifat sederhana;
3. Jumlah tenaga kerja terbatas dengan pembagian kerja yang
longgar;
4. Kebanyakan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi
dengan kekayaan perusahaan;
5. Sistem akuntansi kurang baik, bahkan sukar menekan biaya;
6. Kemampuan pemasaran serta diversifikasi pasar cenderung
terbatas;
7. Margin keuntungan sangat tipis.
{sumber: Mitzerg (Strategi Managemen, New York, 1992) serta Musselman dan Hughes
(Introduction to Modern Business, 1992) dikutip oleh Sutojo dkk, Profil Usaha Kecil dan
Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia, Jakarta, Lembaga Manajemen FE-UI, 1994, hal. 2&9.}
Berdasarkan pada beberapa ciri tersebut di atas, maka dapat
diketahui bahwa kelemahan dari usaha kecil selain dipengaruhi oleh
faktor keterbatasan modal juga tampak pada kelemahan
manajerialnya. Hal ini terungkap baik pada kelemahan
pengorganisasian, perencanaan, pemasaran, maupun pada kelemahan
akuntansinya.
Selanjutnya dalam ketentuan Undang-Undang No. 9 Tahun
1995 tentang Usaha Kecil dan kemudian dilaksanakan lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang
Kemitraan, kriteria usaha kecil adalah sebagaimana diatur dalam Pasal
1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 sebagai berikut :
1. Usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala
kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan serta kepemilikan sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini.
2. Usaha menengah dan usaha besar adalah kegiatan ekonomi
yang mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil
penjualan-penjualan tahunan lebih besar dari kekayaan
bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.
Secara nominal kriteria dalam ketentuan tersebut memberikan
batas Rp. 200 juta rupiah sebagai pembatas antara jumlah modal
pengusaha kecil dan pengusaha besar serta menengah.
Dalam kenyataannya, praktek industri atau usaha kecil ini
ternyata juga muncul dalam aneka tipe yang bermacam-macam,
diantaranya dari sudut penggunaan tenaga kerja yaitu:
1. Industri kerajinan rumah tangga (conttage or household industry)
yang hanya mempekerjakan beberapa tenaga kerja. Untuk di
Indonesia batasan kategori ini adalah usaha (establishment) yang
mempekerjakan satu sampai empat tenaga kerja, terutama anggota
keluarga yang tidak dibayar (unpaid family labour). Industri
kerajinan rumah tangga ini pada umumnya berorientasi pada pasar
local dan menggunakan teknologi tradisional.
2. Industri kecil yang juga berskala kecil, akan tetapi tidak
mengandalkan diri pada tenaga kerja keluarga. Industri ini
mempekerjakan tenaga kerja keluarga. Industri ini mempekerjakan
tenaga kerja yang dibayar upah dan di dalamnya terdapat suatu
hirarkhi antara para pekerja.
{sumber:The Kian Wie, 1997, Model-model Finansial untuk Industri kecil, ditinjau dari segi
permintaan, Kumpulan Makalah Terseleksi, Akatiga, Bandung, hal. 80}
Sedangkan dari segi teknologinya, usaha kecil dapat di
golongkan atas usaha kecil yang tradisional serta usaha yang
berorientasi pada teknologi modern. Penggolongan ini tentunya juga
menjadi salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan dalam
menyerap pola hubungan kemitraan pada akhirnya. Berbagai variable
independent maupun dependent mewarnai usaha kecil ini, tetapi
yang pokok bahwa dalam kaitannya dengan struktur perekonomian
nasional usaha kecil merupakan salah satu asset yang harus
diperhatikan. Konsep demokrasi ekonomi dalam Pancasila tidak
membiarkan terjadinya free fight antara yang kuat dengan yang lemah,
akan tetapi lebih diarahkan kepada keserasian dan saling dukung
antar pelaku ekonomi, hal itu menimbulkan kewajiban bagi
pemerintah untuk mengatur dan menetapkan perundang-undangan
menuju :
· Menigkatkan kerjasama sesama usaha kecil dalam bentuk koperasi,
asosiasi dan himpunan kelompok usaha untuk memperkuat posisi
tawar usaha kecil.
· Mencegah pembentukan struktur pasar yang dapat melahirkan
persaingan yang tidak wajar dalam bentuk monopoli, oligopoli dan
monopsoni yang merugikan usaha kecil.
· Mencegah terjadinya penguasaan pasar dan pemusatan usaha oleh
orang perseorangan atau kelompok-kelompok tertentu yang
merugikan usaha kecil.
Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut di atas, maka salah
satunya dengan cara melakukan upaya kemitraan usaha antara usaha
besar dengan usaha kecil dalam berbagai pola hubungan. Pola
hubungan kemitraan ini ditujukan agar pengusaha kecil dapat lebih
aktif berperan bersama-sama dengan pengusaha besar, oleh karena
bagaimanapun juga usaha kecil merupakan bagian yang integral dari
dunia usaha nasional dan mempunyai eksistensi, potensi, peranan
yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan pembangunan
ekonomi pada khususnya.
Mengenai kemitraan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (8)
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1995 menyebutkan sebagai :
“Kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha menengah
atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan
pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau
usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan,
saling memperkuat dan saling menguntungkan”.
Selanjutnya Ian Linton mengartikan kemitraan sebagai : sebuah
cara melakukan bisnis dimana pemasok dan pelanggan berniaga satu
sama lain untuk mencapai tujuan bisnis bersama.{sumber: Ian Linton, 1997, Kemitraan Meraih Keuntungan Bersama, Hailarang, Jakarta, hal.
10.}
Berdasarkan motivasi ekonomi tersebut, maka prinsip kemitraan dapat didasarkan atas saling memperkuat. Dalam kondisi yang ideal, tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kemitraan secara lebih konkrit yaitu :
1. Meningkatkan pendapatan usaha kecil dan masyarakat;
2. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan;
3. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan
usaha kecil;
4. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan
nasional;
5. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.{sumber:Mohammad Jafar Hafsah, 1999, Kemitraan Usaha, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.
4}
Konsep kemitraan tersebut lebih rinci diuraikan dalam pasal 27
Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1997 tentang kemitraan,
disebutkan bahwa kemitraan dapat dilaksanakan antara lain dengan
pola :
a. Inti-plasma adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan
usaha menengah atau usaha besar sebagai inti membina dan
mengembangkan usaha kecil yang menjadi plasma dalam
penyediaan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian
bimbingan teknis manajemen usaha, produksi, perolehan,
penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi
peningkatan efisiensi dan produktifitas usaha. Program inti-plasma
ini, diperlukan keseriusan dan kesiapan, baik pihak usaha kecil
sebagai pihak yang mendapat bantuan untuk dapat mengembangkan usahanya, maupun pihak usaha besar yang mempunyai tanggung jawab sosial untuk mengembangkan usaha kecil sebagai mitra usaha dalam jangka panjang.
b. Subkontraktor adalah suatu sistem yang mengambarkan hubungan
antara usaha besar dengan usaha kecil/menengah, dimana usaha
besar sebagai perusahaan induk (parent firm) meminta kepada
usaha kecil/menengah (selaku subkontraktor) untuk mengerjakan
seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung
jawab penuh pada perusahaan induk.
c. Dagang umum adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil
dengan usaha menengah atau usaha besar yang berlangsung dalam
bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau
penerimaan pasokan dari usaha kecil mitra usahanya untuk
memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh usaha besar dan atau
usaha menengah yang bersangkutan.
d. Waralaba (franchise) adalah suatu sistem yang menggambarkan
hubungan antara Usaha Besar (franchisor) dengan Usaha Kecil
(franchisee), dimana franchisee diberikan hak atas kekayaan
intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha, dengan suatu
imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak franchisor
dalam rangka penyediaan atau penjualan barang dan atau jasa.
e. Keagenan merupakan hubungan kemitraan, dimana pihak
prinsipal memproduksi/memiliki sesuatu, sedangkan pihak lain
(agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut
dan menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan
pihak ketiga.
f. Bentuk-bentuk lain di luar pola sebagaimana yang tertulis di atas,
yang saat ini sudah berkembang tetapi belum dibakukan atau polapola
baru yang timbul dimasa yang akan datang.
Adapun menurut Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingakat I
Nusa Tenggara Barat No. 231 Tahun 1997 dan Keputusan Gubernur
No. 93 Tahun 1999 tentang “Pelaksanaan Program Intensifikasi
Tembakau”, pola usaha yang dapat dilakukan antara petani dengan
perusahaan pengelola hasil tembakau diantaranya dapat berupa :
a. Pola Usaha Penuh.
Adalah pengelola yang melaksanakan tugas membimbing petani,
pelayanan kredit, pelayanan sarana produksi dan prasarana
prosessing, kemudian menjamin pemasaran hasil petani binaannya.
Sedangkan penai/kelompok berkewajiban untuk melaksanakan
dan mengerjakan sesuai petunjuk pengelola, kemudian menjual
hasilnya kepada pengelola yang membinanya.
b. Pola Usaha Terbatas.
Adalah pengelola yang melaksanakan tugas bimbingan teknis,
pelayanan sarana produksi, pelayanan sarana dan prasarana
prosessing yang tidak penuh. Pengelola yang memberikan bantuan
sesuai kebutuhan petani binaannya, kemudian pengelola
menjamain pemasaran hasil.
c. Pola Usaha Tanpa Ikatan.
Adalah pengelola/pembeli hanya menampung hasil produksi dari
petani. Sedangkan bimbingan teknis diberikan oleh UPP Tembakau
dan atau Dinas Perkebunan Propensi Daerah Tingkat I dan Dinas
Perkebunan Kabupaten Daerah Tingkat II se Pulau Lombok.
Dalam hubungan kemitraan, pola yang paling sederhana adalah
pengembangan bisnis biasa ditingkatkan menjadi hubungan bisnis
dengan adanya ikatan tanggung jawab masing-masing pihak yang
bermitra dalam mewujudkan kemitraan usaha yang saling
membutuhkan, saling menguntungkan dan saling memperkuat. Pola
hubungan yang dilaksanakan antara perusahaan rokok dan petani
tembakau adalah dengan pola inti plasma, dimana perusahaan rokok
sebagai intinya sedangkan petani tembakau sebagai plasmanya. Pola
inti plasma di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995
tentang usaha kecil disebutkan sebagai yaitu :
“Inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara usaha
kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang di
dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak
sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma, perusahaan inti
melaksanakan pembinaan mulai dari penyediaan sarana
produksi, bimbingan teknis, sampai dengan pemasaran hasil
produksi”.
Secara garis besarnya, perusahaan besar mempunyai tanggung
jawab terhadap pengusaha kecil mitranya dalam memberikan bantuan
dan pembinaan mulai dari sarana produksi, bimbingan teknis, sampai
dengan pemasaran hasil produksi. Selanjutnya perusahaan
inti/perusahaan pengelola tembakau mengupayakan tersedianya
benih sebar, pupuk, pestisida, minyak tanah yang diperlukan selama
berlangsungnya kegiatan penanaman tembakau, serta disamping itu
perusahaan juga membantu petani dalam penyediaan modal kerja
melalui koperasi, perbankan dan sumber-sumber lainnya. Sedangkan
pihak petani tembakau (plasma) menyediakan lahan (areal) tempat
menanam tembakau dan melaksanakan pemiliharaan secara intensif
pada lahan (areal) tanaman yang diusahakan di bawah pengawasan
dan pembinaan teknis perusahaan inti. Perusahaan inti akan menjamin
pemasaran dengan mengambil langsung tembakau yang sudah
dipanen kepada petani dengan harga yang telah ditentukan.
Di dalam mendukung berkembangnya pola hubungan
kemitraan usaha ini dibutuhkan peran pemerintah sebagai pembina
dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pengembangan usaha. Adapun wujud dari peran pemerintah tersebut dapat berupa
pemberian fasilitas dan kemudahan berinvestasi serta perangkat
perundang-undangan yang mendukung kemitraan usaha, penyediaan
informasi bisnis, bertindak sebagai arbitrase dalam pembinaan dan
pengawasan dan lain sebagainya.
Hubungan kemitraan antara perusahaan inti dan petani
tembakau (plasma) dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, menyebutkan :
“Hubungan kemitraan dituangkan dalam bentuk perjanjian
tertulis yang sekurang-kurangnya mengatur bentuk dan
lingkup kegiatan usaha kemitraan, hak dan kewajiban masingmasing
pihak, bentuk pembinaan dan pengembangan serta
jangka waktu dan penyelesaian perselisihan”.
Kemudian berikutnya untuk syarat sahnya suatu perjanjian, maka
menurut Pasal 1320 KUH Perdata mensyaratkan empat syarat sebagai
berikut ;
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal
Syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320 KHU Perdata mengenai
hak dan kewajiban bagi para pihak dan atau pihak ketiga, yang meliputi subyek dan obyek perjanjian. Syarat pertama dan kedua
menyangkut subyeknya, sedangkan syarat ketiga dan keempat
menyangkut obyeknya. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada
subyeknya, maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan suatu
perjanjian yang mengandung cacat pada obyeknya, maka perjanjian
tersebut adalah batal demi hukum.
Pada prinsipnya suatu perjanjian terjadi berdasarkan asas
kebebasan berkontrak. Berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak
diatur dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi : “segala
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Asas kebebasan berkontrak dalam perkembangannya ternyata dapat
mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai
tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila
para pihak memiliki posisi tawar yang seimbang. Namun dewasa ini
kecenderungan memperlihatkan banyak perjanjian di dalam transaksi
bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang
diantara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara di pihak
yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir
perjanjian yang sudah dicetak dan pihak lain harus menerimanya.
Perjanjian demikian ini dinamakan perjanjian standar atau perjanjian
baku (adhesi).
Perjanjian baku yaitu perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain
pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau
meminta perubahan.{sumber:Sutan Remy Sjahdeni, 1993, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Seimbang bagi
Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, hal. 66}
Oleh karena perjanjian baku tersebut salah satu
pihak secara sepihak menyusun syarat-syarat dan pihak lain harus
menerimanya atau tidak, maka mengenai keabsahan dari perjanjian
baku tersebut ada beberapa pendapat.
Kemudian menurut Asser-Rutten{sumber:Ibid, hal. 69} dikatakan bahwa setiap orang yang menandatangani perjanjian bertanggung jawab pada isi
dan apa yang ditandatanganinya.
Selanjutnya, keabsahan berlakunya perjanjian baku memang
tidak perlu dipersoalkan, tetapi masih perlu dipersoalkan apakah
perjanjian itu tidak bersifat sangat “berat sebelah” dan tidak
mengandung “klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan
bagi pihak lainnya,” sehingga perjanjian itu merupakan perjanjian
yang menindas dan tidak adil.{sumber:Ibid, hal. 71}
Pandangan dari kedua sarjana tersebut merupakan pandangan yang didasarkan atas ketentuanketentuan yuridis belaka. Dalam banyak hal, praktek perjanjian melibatkan banyak aspek yang melingkupi terjadinya perjanjian.
Salah satu aspek yang melingkupi terjadinya perjanjian antara
inti dan plasma adalah kebutuhan dari plasma untuk mendapatkan
modal. Faktor modal ini mendorong plasma ada pada satu posisi yang
tidak seimbang dengan kedudukan inti. Akibatnya muncul satu
produk perjanjian yang meskipun disepakati bersama tetapi
mengandung syarat-syarat yang tidak mencerminkan kesimbangan.
Terjadinya ketidakseimbangan kedudukan antara inti dan
plasma tersebut menumbuhkan satu kebutuhan perlindungan dalam
perjanjian kepada plasma. Perlindungan ini dalam bentuk nyata
adalah adanya perangkat pengaturan yang seharusnya mampu
menampung kebutuhan tentang perlindungan terhadap keberadaan
plasma yang pada gilirannya akan mengakibatkan adanya
keseimbangan di segala kesempatan.
Kemudian selain dari itu masalah yang tidak kalah pentingnya
untuk mendapat perhatian adalah menyangkut masalah pelaksanaan
perjanjian, karena adanya kemungkinan terdapat hal-hal yang
menghambat dan dapat mengkibatkan tidak terpenuhinya perjanjian
tersebut.
Seperti yang diungkapkan oleh Satjipto Raharjdo{sumber: Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, hal. 40}
Bahwa “semakin tinggi kedudukan sesuatu kelompok itu secara ekonomi
maupun politik, semakin besar pula kemungkinannya bahwa
pandangan serta kepentingnnya akan tercermin dalam hukum.”
Dari pola-pola kemitraan yang ditawarkan oleh pemerintah
dengan banyak variasinya ini, pada umumnya didasarkan pada pola
hubungan yang saling menguntungkan. Karena kedua belah pihak
sama-sama diuntungkan, sekalipun dalam proporsi yang berbeda,
sesuai dengan kapasitas masing-masing. Tetapi dalam kondisi yang
demikin tersebut, memungkinkan munculnya pihak yang dominan
disitu, pihak yang kebetulan menjadi dominan akan berusaha untuk
memaksakan kehendaknya agar diterima oleh pihak yang lain.
Sehingga di sini dimungkinkan juga pihak inti akan menjadi pihak
yang dominan dan akan memaksakan kehendaknya pada pihak
plasma.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai pola hubungan hukum
kemitraan usahatani tembakau di Pulau Lombok, maka perlu
diadakan penelitian tentang apakah pola hubungan hukum kemitraan
usahatani tembakau dapat memberikan perlindungan hukum bagi
petani tembakau, bagaimana kedudukan dan hubungan hukum para
pihak, upaya-upaya apa yang telah ditempuh dalam melindungi
petani/plasma serta hal lain yang ditemukan dalam penelitian
tersebut.
D. Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan informasi dan mendalami apakah pola hubungan
hukum kemitraan usahatani tembakau dapat memberikan
perlindungan hukum bagi Petani Tembakau di Pulau Lombok.
2. Mendapatkan informasi dan mendalami tentang kedudukan dan
hubungan hukum antara petani tembakau dengan perusahaan
pengelola dalam perjanjian kemitraan.
3. Mendapatkan informasi dan mendalami tentang usaha-usaha
apakah yang dilakukan sebagai upaya melindungi petani
tembakau dalam perjanjian kemitraan.
E. Kontribusi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
keperluan yang bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademisi dan
berguna untuk kepentingan bersifat praktis bagi para pelaku usaha.
a) Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum
(hukum bisnis) tentang pola hubungan hukum kemitraan pada
usahatani tembakau di Pulau Lombok.
b) Secara Praktis
l Agar masyarakat dan pelaku usaha mengetahui tentang apakah
pola hubungan hukum kemitraan usahatani tembakau yang
selama ini dilakukan memberikan perlindungan hukum
khususnya bagi petani tembakau selaku plasma yang ada di
Pulau Lombok.
l Bermanfaat bagi pelaku bisnis untuk mengetahui hak dan
kewajiban yang timbul dalam hubungan hukum kemitraan
usahatani tembakau di Pulau Lombok.
l Memberikan pengetahuan bagi praktisi dan sekaligus masukan bagi Pemerintah Daerah tentang upaya-uapaya apa yang dapat dilakukan dalam rangka melindungi petani tembakau dalam perjanjian kemitraan usaha.
F. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, karena bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau suatu
kelompok orang tertentu atau gambaran tentang pola hubungan
hukum petani tembakau dengan perusahaan pengelola dalam
program kemitraa usaha. Biasanya penelitian dekkriptif analisis
seperti ini menggunkan metode survei. Lebih jauh penelitian ini
berusaha untuk menjelaskan postulat-postulat yang diteliti secara
lengkap sesuai dengan temuan-temuan dilapangan.
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan normatif-empirik.
Di dalam melakukan pendekatan normatif, tipe penelitian yang
dipakai adalah :
l Tipe pertama yaitu inventarisasi hukum positif. Menurut Ronny
Hanitijo Soemitro{sumber:Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia,Jakarta, hal. 13} inventarisasi hukum positif (langkah
pertama) merupakan kegiatan pendahuluan yang bersifat dasar
untuk penelitian-penelitian hukum positif tipe lainnya. Dalam
hal ini akan di inventarisir peraturan-peraturan yang berlaku
yang mengatur mengenai kemitraan dalam intensifikasi
tembakau, inventarisasi ini dilakukan melalui proses klasifikasi
yang logis sistematis.
l Selain tipe pertama, juga dipakai tipe ketiga yaitu penelitian
hukum untuk menemukan hukum bagi suatu perkara in
concreto. Kegiatan menemukan hukum in concreto ini diawali
dengan mendiskripsikan masalah-maslah yang menyangkut
hubungan hukum inti plasma, kemudian secara kritis pada
perangkat norma-norma hukum positif yang ada.
Adapun dalam pendekatan empirik dipergunakan paradigma
kualitatif induktif fenomenologis karena dalam melihat hukum itu
tidak semata-mata sebagai seperangkat aturan-aturan perundangundangan
yang bersifat normatif belaka, akan tetapi hukum dapat
dilihat sebagai prilaku masyarakat yang menggejala dan terpola
dalam kehidupan masyarakat, yang selalu berinteraksi dan
berhubungan dengan aspek-aspek kemasyarakatan seperti; politik,
ekonomi, sosial-budaya. Berbagai temuan lapangan yang bersifat
individual akan dijadikan bahan utama dalam mengungkapkan
permasalahan yang diteliti dengan tetap berlandaskan pada
ketentuan-ketentuan normatif.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Lombok-Nusa Tengara Barat
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
terdiri dari data primer dan data skunder. Data primer diperoleh
langsung dari sumber pertama di lapangan yang berupa data yang
diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait,
seperi; Pejabat Dinas Pertanian, perusahaan/industri rokok, petani
tembakau. Sedangkan data skunder adalah data-data yang
diperoleh dari hasil penelaahan terhadap dokumen-dokumen
resmi dan penelusuran serta pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan seperti; Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, Keputusan Menteri Pertanian No. 219/Kpts/KB.420/4/1986 jo Keputusan Menteri Pertanian No. 651/Kpts/KB.420/9/1990 tentang Program Intensifikasi
Tembakau, Keputusan Direktorat Jenderal Perkebunan No. 10/Kpts/IX-BPR/1999 tentang Program Intensifikasi Tembakau Voor Oogst Musim Tanam Tahun 1999, Keputusaan Gubernur Nusa Tenggara Barat No. 93 Tahun 1999, Nomor. 231 1997 , Nomor 114 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Program Intensifikasi Tembakau di Dati I NTB.
5. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini, guna memperoleh data-data yang diinginkan
maka digunakan instrumen penelitian yang terdiri dari instrumen
utama dan instrumen penunjang. Instrumen utama dalam
penelitian ini adalah peneliti sendiri, sedangkan instrumen penunjang adalah berupa daftar pertanyaan, catatan-catatan lapangan dan rekaman tipe recorder.{sumber:S. Nasution, 1992, Metode Penelitian Naturalistik-Kwalitatif, Tarsito, Bandung, hal. 9}
6. Tehnik Pengecekan Keakuratan Data
Dalam mengecek keabsahan atau validitas data
menggunakan teknik triangulasi. Triangulasi menurut S. Nasution
adalah bahwa data atau informasi dari satu pihak harus dichek
kebenarannya dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain,
misalnya dari pihak kedua, ketiga dan seterusnya dengan
menggunakan metode yang berbeda-beda. Tujuannya ialah
membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh
dari berbagai pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan
data. Cara ini juga mencegah bahaya-bahaya subyektif.{sumber:Ibid, hal. 10}
Sanafiah Faisal mengatakan triangulasi merupakan salah
satu cara menentukan standar kredibilitas data yang diperoleh
melalui suatu metode penelitian dan dari suatu sumber juga dapat
dichek dengan data yang diperoleh melalui metode lain dan dari
sumber lainnya, atau triangulation.
Sedangkan triangulasi menurut Lexy J. Moloeng adalah
teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data itu. Tehnik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lain. Triangulasi melalui sumber lain dilakukan dengan cara.{sumber:Patton dalam Lexy Moloeng, 1999, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya, Cet. Ke 11, hal. 179}
1. membandingkan data hasil pengamatan dan data hasil
wawancara;
2. membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakannya secara pribadi;
3. membandingkan apa yang dikatakan oleh orang-orang tentang
situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang
waktu;
4. membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa,
orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada,
orang pemerintahan;
5. membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan.
Triangulasi dengan metode terdapat dua strategi, yaitu :
1. pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa tehnik pengumpulan data;
2. pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
metode yang sama.
7. Tehnik Analisa Data
Dalam menganalisa data menggunakan analisis kualitatif.
Dari data yang telah dikumpulkan dan telah dichek keabsahannya
dan dinyatakan valid, lalu diproses mengikuti langkah-langkah
yang bersifat umum, yakni : 1) reduksi data, 2) “display” data, dan
3) mengambil kesimpulan dan verifikasi.{sumber:Ibid, hal. 129} Reduksi data, data yang diperoleh dalam lapangan ditulis/diketik dalam bentuk uraian atau laporan yang rinci. Laporan tersebut direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema atau polanya. Display data, data yang terkumpul dan telah direduki
dibuatkan berbagai macam matriknya, grafik, networks dan charts,
agar data dapat dikuasai. Mengambil kesimpulan dan verifikasi, data
yang telah terkumpul, telah direduksi dan didisplay, lalu berusaha
untuk mencari maknanya. Untuk itu mencari pola, thema,
hubungan, persamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan
sebagainya kemudian disimpulkan.
G. Sistematika Penulisan
Sebagai hasil dari penelitian ini, maka disusun dan disajikan
dalam suatu karya ilmiah berupa thesis yang terdiri dari 4 (empat)
bab. Untuk memudahkan pemahaman terhadap thesis ini, maka
disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut : Bab
Pendahuluan, bab ini merupakan pengantar dan pedoman untuk
pembahasan-pembahasan berikutnya yang terdiri dari Latar Belakang,
Rumusan Masalah, Kerangka Pemikiran, Tujuan Penelitian, Kontribusi
Penelitian, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan. Bab
Tinjauan Pustaka, yang berisi uraian tentang Tinjauan Umum Tentang
Kemitraan Usaha, pengaturan tentang kemitraan, pengertian
kemitraan, unsur-unsur kemitraan, tujuan kemitraan, pola-pola
kemitraan, peran pemerintah dalam kemitraan, kedudukan dan
hubungan hukum kemitraan inti plasma, hubungan hukum inti
plasma, hak dan kewajiban inti plasma, asas-asas perjanjian inti
plasma, tinjauan dibidang kontrak, pelanggaran dibidang dokumen
kontrak, masalah resiko, penyelesaian sengketa, pola hubungan pada
program kemitraan usahatani tembakau di Pulau Lombok, bentukbentuk
pola hubungan hukum, perlindungan hukum terhadap
petani/plasma. Bab Hasil Penelitian dan Pembahasan, dalam bab ini
diuraikan tentang : Gambaran umum tentang Usahatani Tembakau di
Pulau Lombok, Pola hubungan hukum kemitraan secara umum di Pulau Lombok, Pola hubungan hukum kemitraan usahatani Tembakau yang dilakukan antara petani dengan perusahaan pengelola/industri rokok, Kedudukan dan hubungan hukum antara petani tembakau dengan Perusahaan pengelola hasil tembakau dalam perjanjian kemitraan, serta uraian tentang upaya-upaya perlindungan hukum yang dilakukan bagi petani tembakau, upaya-upaya yang dilakukan dalam melindungi petani/plasma, hasil ini kemudian akan dianalisa dengan norma yang ada maupun dengan konsep atau teori yang ada. Bab Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.
Sumber: http://www.tribunkaltim.co.id/read/artikel/16988
Ekonomi dan Bisnis
Bunga Pinjaman Tinggi, Banyak UKM Gulung Tikar
IST/NET
Ilustrasi : usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Senin, 22 Desember 2008 | 22:52 WITA
JAKARTA - Sulitnya Usaha Kecil Menengah (UKM) mengembalikan pinjaman dari bank disebabkan besarnya bunga yang dibebankan. Terlebih lagi, pemberian bunga pinjaman didasarkan atas selisih margin penjualan produk saja, tanpa memperhatikan pengeluaran yang terjadi dalam intern pelaku UKM.
Hal tersebut dikemukakan oleh pengamat ekonomi UGM Revrisond Baswir saat diskusi di Kementrian Koperasi dan UKM Jakarta, Senin (22/12).
"Pemberian bunga kredit dari perbankan kepada UKM itu marginnya tinggi kerena yang dihitung selisih harga jual dan beli yang tinggi. Padahal ada hal lain seperti depresiasi, transportasi, penggunaan rumah sebagai tempat usaha yang kurang diperhatikan," katanya.
Akibatnya, beberapa UKM banyak yang gulung tikar karena dalam beberapa tahun atau beberapa kali putaran pengusaha kehabisan modal. Sebagai contoh, pengusaha jarang menghitung penyusutan barang yang digunakan dalam produksi, sewa tempat walaupun menggunakan rumah sendiri sampai gaji yang harus diterima dirinya tidak diperhitungkan.
"Beberapa kasus bahkan memperlihatkan para pekerja lepas untungnya lebih besar dari pada pemilik usaha," lanjutnya. Maka dari itu, pelaku usaha harus lebih memperhatikan hal seperti itu hingga yang paling terkecil.
Sistem keuangan harus dibuat seperti perusahaan yang sudah terstruktur. Setelah itu, acuan ini dapat diajukan kepada pihak bank, salah satunya dalam menetapkan besar pinjaman beserta bunga. Selain itu,juga terjadi kesepakatan yang menguntungkan antara kedua pihak.
Pemerintah dalam hal ini juga harus konsisten terhadap program pemberian bantuan kepada UKM. Pengawasan juga harus dilakukan agar tidak muncul standar ganda antara pemerintah dan pihak bank.
"Di satu sisi sebagai bantuan usaha tapi di sisi lain sebagai salah cara mendapatkan keuntungan pihak bank semata," tambah Revrisond. (C12-08)
1. Usaha menjahit pakaian
2. Bunga Pinjaman Tinggi, Banyak UKM Gulung Tikar
3. UKM dan Eksportir Riau Terima Penghargaan Adykriya
4.Industri Kompor Minyak Di Cilamaya Kulon Menghadapi Tekanan
Sumber: http://belajarusahakecil.blogspot.com/2009/03/usaha-kecil-menengah.html
Usaha Menengah
Pengertian usaha menengah
Usaha Menengah sebagaimana dimaksud Inpres No.10 tahun 1998 adalah usaha bersifat produktif yang memenuhi kriteria kekayaan usaha bersih lebih besar dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak sebesar Rp10.000.000.000,00, (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha serta dapat menerima kredit dari bank sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) s/d Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Ciri-ciri usaha menengah
l Pada umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;
l Telah melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan termasuk oleh perbankan;
l Telah melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;
l Sudah memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;
l Sudah akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;
Pada umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik.
Contoh usaha menengah
Jenis atau macam usaha menengah hampir menggarap komoditi dari hampir seluruh sektor mungkin hampir secara merata, yaitu:
l Usaha pertanian, perternakan, perkebunan, kehutanan skala menengah;
l Usaha perdagangan (grosir) termasuk expor dan impor;
l Usaha jasa EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), garment dan jasa transportasi taxi dan bus antar proponsi;
l Usaha industri makanan dan minuman, elektronik dan logam;
l Usaha pertambangan batu gunung untuk kontruksi dan marmer buatan
Sumber: http://www.idonbiu.com/2009/05/contoh-contoh-peluang-usaha-kecil-dan.html
Contoh-contoh peluang Usaha Kecil Dan Menengah Di Indonesia
Jasa Pijat Urut dan Massage.
Tentu anda tahu bahwa banyak orang yang senang dengan yang namanya pijat, urut atau massage. Karena memang pemijatan membuat badan rileks karena darah mengalir dengan lancar ataupun juga menyembuhkan penyakit karena otot kejang atau persendian terkilir. Tapi seringkali teramat susah mencari tukang pijat yang bisa dipanggil datang kerumah. Biasanya tukang pijat atau tukang urut hanya mangkal dirumah sendiri dan menunggu pasien. Lalu bagimana bila ada pasien yang memerlukan pijat urut namun tidak bisa mendatangi tempat pemjatan? Rasanya perlu ada jasa pemijatan yang bisa di panggil untuk datang kerumah pasien dan ini bisa menjadi peluang usaha kecil buat anda. Anda bisa memijat, mungkin anda bisa mencoba ide ini. Untuk promosi usaha anda bisa membaca promosi secara konvensial atau promosi usaha melalui media internet.
Jasa Potong Rambut
Potong rambut tentu harus dilakukan secara berkala kan? Setidaknya tiap bulan sekali setiap orang potong rambut, bahkan ada yang lebih cepat dari itu. Nah jika anda bisa mencukur rambut, anda bisa menjalani peluang usaha kecil ini dengan cara berkeliling menggunakan sepeda dan tidak hanya mangkal disuatu tempat menunggu pelanggan. Cara promosi juga dapat dilakukan dengan cara diatas.
Jasa Setrika Baju
Saat ini banyak sekali orang dengan kesibukan yang luar biasa, sampai mengurus pakaian sendiri saja keteteran, terutama menyetrika. enyetrika memang merupakan kegiatan yang memboankan. Anda bisa menwakan jas tersebut kepada orang disekitar anda, baik dengan mendatangi tempat mereka atau anda bisa menerima pakaian yang akan disetrika. Untuk promosi ikuti langkah tersebut diatas.
Jasa Mempromosikan Usaha Orang Lain
Peluang usaha kecil dengan modal minimal yang satu ini justru membantu apa yang dikerjakan oleh para pekerja diatas dengan membantu empromosikan usaha mereka. Anda bisa membuat semacam brosur kecil yang dpat anda buat di komputer dan anda sebarkan ke tempat-tempat yang strategis. Selain itu juga dapat memposting promos usaha di internet. bayaran dapat anda atur antara anda dengan pembeli jasa anda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar